MANUSIA,
konon muncul di bumi paling belakang, setelah bebatuan, tumbuh-tumbuhan, dan
binatang. Berstatus sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna, justru
makhluk yang berkapasitas otak paling besar ini merusak, menghancurkan bahkan
membinasakan bukan saja makhluk-makhluk yang hadir duluan, bahkan tega
membunuh sesamanya. Perbuatan manusia tersebutlah yang melahirkan ungkapan
homo homini lupus atau perang semua melawan semua.
Semasih manusia hidup berburu dan mengembara untuk mengumpulkan makanan serta
malam hari berteduh di gua-gua, dunia aman dan lestari. Mereka malah takut
pada lingkungan, khususnya benda-benda besar dan makhluk lain yang dianggap
memiliki kekuatan supernatural. Untuk keselamatan dan perlindungan, mereka
justru memuja dan menyembah semua hal yang ditakuti. Inilah fase awal manusia
mengenal sistem kepercayaan, sekaligus jadi embrio gagasan agama-agama di
dunia. Setelah berhenti nomaden dan hidup dengan bercocok tanam, agama pun
lahir. Buat memberi logika atas apa yang mereka yakini, muncullah filsafat.
Sampai fase ini, dunia masih tenang dan damai. Andaipun ada perkelahian atau
pertempuran, korban jiwa sebatas pedang, tombak dan panah bisa menjangkau
sasaran alias tidak banyak, tutur Rubag.
Bisa kubayangkan, perang di zaman yang senjatanya cuma pedang, tombak dan
panah, paling-paling yang jadi korbannya hanya mereka yang terlibat di medan
perang. Dari sejarah dunia yang kubaca selintas, masih kuingat nama Hannibal
Barca yang memimpin serdadu Kartaginia melawan pasukan Romawi dalam Perang
Punisia yang berlangsung sampai tiga seri. Perang berkhir saat ibukota
Kartaginia yakni Kartago diluluhlantakkan serdadu Romawi pada tahun 183
Sebelum Masehi. Begitu pula nama Zengis Khan dari Kekaisaran Mongol di abad
ke-13, pemimpin dari kumpulan suku-suku nomaden di pegunungan Mongolia, Asia
Timur. Namanya pernah jadi momok bangsa-bangsa Eropa dan Asia, termasuk
Indonesia. Untung saja cucu Zengis, yakni Kubilai Khan, tidak berhasil
menjajah Indonesia, karena Raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit menyiasati
dan mampu mengusir ribuan serdadunya yang telah menjejakkan kaki di tanah
Jawa, komentar Kudil.
Namun negeri Hannibal yang dulu dihancurkan pasukan Romawi, baru-baru ini
juga nyaris bubar. Sebab, presidennya Zine El Abidine Ben Ali justru
melarikan diri ke luar negeri karena diusir rakyatnya. Kartago yang kau sebut
sebagai ibukota Kartaginia terletak di Tunisia dan negeri tersebut digoncang
demonstrasi besar-besaran sejak awal Januari lalu. Setelah dihancurkan
Romawi, nama besar Hannibal menguap bahkan bangsanya sendiri pun
melupakannya. Beda dengan Zengis Khan ! Meskipun kekaisarannya bubar setelah
ditundukkan Dinasti Qing dari Cina, namun bangsa dan negaranya yang kini
berbentuk republik bangga atas sepak terjangnya. Patung raksasa berwarna
keemasan Zengis Khan berbusana panglima perang yang mengendarai kuda
didirikan di sebuah bukit dekat ibukota Mongolia, Ulan Bator. Memang, ada
yang bangga mengenang sejarah karena konon bisa meningkatkan patriotisme dan
nasionalisme. Namun ada pula yang malu karena sejarahnya berbau darah,
sehingga berusaha melupakannya, ujar Jengki.
Kedua tokoh sejarah yang kalian tuturkan adalah maniak pemburu kekuasaan.
Demi ambisi dan egoisme pribadinya, mereka tak segan-segan mengorbankan
ribuan bahkan jutaan nyawa, baik di pihak sendiri maupun musuh. Rupanya,
setelah hidup menetap dan berkumpul jadi sebuah masyarakat, egoisme dan
ambisi manusia yang tadinya tunduk terhadap keperkasaan alam, jadi tumbuh.
Will to power manusia, seperti kata Nietzsche, bertambah besar saat berhasil
menggertak banyak orang jadi pengikut. Padahal kalau sendiri, menurut Hobbes,
dia adalah mahluk pemurung, penakut dan hina karena sadar umurnya singkat dan
fisiknya pun lebih lemah dari beberapa makhluk lain. Jadi, hasrat untuk
berkuasa sebenarnya bukan barang baru bagi manusia, namun keinginan tersebut
tambah menggebu ketika sains dan teknologi berkembang. Orang boleh
mendeklarasikan bahwa renaisans atau enlightentment atau aufklarung sebagai
zaman pencerahan, tapi sejak berbagai jenis mesin pembunuh diciptakan dengan
dalih untuk pertahanan, kian banyak dan semakin gampang manusia membunuh,
argumen Lonjong.
Tak salah kalau manusia di samping menyandang berbagai predikat, juga disebut
zoon politikon atau hewan berpolitik ya ? Kalau politik sering didefinisikan
sebagai seni tentang kekuasaan, nyatanya dalam praktek cenderung berarti cara
merebut kekuasaan. Setelah merebut secara damai dan sopan, bahkan tidak
jarang dengan licik dan vulgar, kekuasaan lalu dipertahankan dan diperbesar
dengan berbagai cara. Hegemoni lewat bujukan atau intimidasi terselubung
merupakan rabuk penyubur buat memelihara kekuasaan. Sebab sejak zaman dulu
terlebih-lebih sekarang, kekuasaan dipandang lebih hebat dari lampu Aladin.
Bila digosok langsung mengeluarkan harta benda yang diinginkan, tanpa melalui
jin lagi. Karenanya, banyak penguasa berniat mewariskan kekuasaannya pada
istri, anak dan cucu lewat politik dinasti. Nah, untuk itulah mereka terus
menggunakan tehnik pencitraan dengan maksud memperbanyak pengikut dan
centeng-centeng kekuasaan, sahut Gading.
Wah pantas, begitu ya ceritanya ? Aku jadi teringat peristiwa Mei 1998, saat
menyaksikan tayangan sebuah TV Swasta yang menampilkan ribuan demonstran di
jalan-jalan dan lapangan Tahrir, Kairo, Mesir. Kulihat banyak tubuh diseret
di jalan, kayaknya sudah tidak bernyawa lagi. Juga pemandangan saling lempar
dan baku pukul sesama masyarakat berpakaian sipil. Pun orang-orang mengerang
karena terluka di sekujur tubuh digeletakkan di bangsal-bangsal rumah sakit,
karena jumlah petugas medis kalah banyak dari jumlah korban. Dari narrator,
kudengar, bahwa sebelumnya para demonstran anti Presiden Hosni Mubarak hanya
berhadapan dengan polisi, namun hari itu mereka diserang kelompok orang
berpakaian sipil yang diduga pro Mubarak. Pihak militer yang diharapkan turun
untuk menengahi bentrokan, ternyata berpangku tangan. Komentator berpendapat,
bila kerusuhan anarkhis yang saat itu hanya terjadi di sekitar Kairo
dibiarkan, akan berkembang menjadi perang sipil mengerikan ke seluruh wilayah
Mesir, ujar Bleteng.
Politik pembiaran agaknya sedang diterapkan di beberapa bagian dunia,
terutama di negara-negara sedang berkembang. Syukur di Tunisia, Ben Ali yang
sudah berkuasa 23 tahun, lebih menyayangkan nasib rakyatnya daripada
kekuasaannya, lalu legowo melarikan diri ke Jeddah. Nah, kalau Mubarak tetap
bersikeras sesuai pidatonya ingin mempertahankan kekuasaannya yang sudah 30
tahun hingga September mendatang, aku khawatir, Mesir akan menjadi seperti
Somalia. Negara seperti tanpa pemerintahan dimana anarkhisme dan pembunuhan
terjadi setiap saat karena dikuasai para war lord atau panglima perang. Kalau
itu terjadi, program rahasia rezim Tatanan Dunia Baru akan cepat terealisasi.
Sebab menurut Pat Robertson, penganut tatanan dunia baru yang ekstrem
menghendaki agar kedaulatan nasional negara-negara bangsa harus dihilangkan.
Sebab semua hal yang menyangkut urusan manusia harus di bawah kendali satu
atap, yakni pemerintahan sedunia. Agenda yang paling mengerikan, tulis
Robertson, program kematian dua atau tiga milyar penduduk di dunia ketiga.
Merasakan kondisi politik yang kian memanas sekarang, aku jadi bergidik,
ihhh, keluh Lambot.
Oleh Aridus diterbitkan di Bali Post 2011
|
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire