Culte des ancêtres
Marionnettes tribales sacrée d’Indonésie
Par Frédéric Héduin |
Setelah selesai rapat membicarakan tentang pemilihan dewan
perwakilan mahasiswa di Universitas Amiens dengan sebuah organisasi
kemahasiswaan, kaki saya hendak melangkah maju menuju perpustakaan, bukan untuk
membaca buku atau meminjam buku, tapi untuk melihat pameran seni yang rutin
diadakan oleh perpustakaan. Kali ini pameran foto tentang dokumentasi di Jerman. Disebelah tangga ada papan
pengumuman, dengan poster yang bergambar tiga wayang orang yang berjudul “Culte
des Ancêtres” yang artinya
menyembah leluhur, dan dibawahnya berisi “Marionnettes Tribales Sacrée d’Indonésie Par Frédéric Héduin” yang artinya wayang suku yang sakral dari Indonesia oleh Frédéric Héduin.
Pameran ini sedang berlangsung di ruangan khusus dekat kantor presiden universitas, bukan sembarangan pameran yang bisa dipamerkan di ruangan khusus seperti ini. Namun anehnya hanya sedikit poster dan selembaran yang tersebar mengenai pameran ini. Saya langsung saja menyinggahi pameran wayang dan patung yang ternyata diadakan oleh seorang dokter umum di universitas. Sesampainya disana tak seorangpun yang nongkrongin pameran ini, maklum ini pameran sudah berlangsung sejak 22 maret lalu dan akan berakhir 7 mei. Sebagai mahasiswa Indonesia seharusnya saya tahu kalau akan ada pameran ini, namun tidak ada kabar dari pihak manapun akhirnya getaran batin yang menggerakan saya. Pada saat melihat salah satu patung kayu yang berasal dari Batak Sumatra, yang konon katanya berumur ratusan tahun, tiba-tiba presiden universitas yang bernama Georges Fauré menghampiri saya dan mengatakan ini patung favorit saya, sangat indah, sambil bercanda beliau sebenarnya ingin mencuri patung ini untuk dibawa pulang tapi ada kamera yang mengintainya.
menyembah leluhur, dan dibawahnya berisi “Marionnettes Tribales Sacrée d’Indonésie Par Frédéric Héduin” yang artinya wayang suku yang sakral dari Indonesia oleh Frédéric Héduin.
Pameran ini sedang berlangsung di ruangan khusus dekat kantor presiden universitas, bukan sembarangan pameran yang bisa dipamerkan di ruangan khusus seperti ini. Namun anehnya hanya sedikit poster dan selembaran yang tersebar mengenai pameran ini. Saya langsung saja menyinggahi pameran wayang dan patung yang ternyata diadakan oleh seorang dokter umum di universitas. Sesampainya disana tak seorangpun yang nongkrongin pameran ini, maklum ini pameran sudah berlangsung sejak 22 maret lalu dan akan berakhir 7 mei. Sebagai mahasiswa Indonesia seharusnya saya tahu kalau akan ada pameran ini, namun tidak ada kabar dari pihak manapun akhirnya getaran batin yang menggerakan saya. Pada saat melihat salah satu patung kayu yang berasal dari Batak Sumatra, yang konon katanya berumur ratusan tahun, tiba-tiba presiden universitas yang bernama Georges Fauré menghampiri saya dan mengatakan ini patung favorit saya, sangat indah, sambil bercanda beliau sebenarnya ingin mencuri patung ini untuk dibawa pulang tapi ada kamera yang mengintainya.
Karena rasa penasaran tentang pameran ini saya langsung
menghubungi sang dokter untuk membuat janji bertemu dan beliau berkenan untuk
bertemu langsung pada saat itu juga dan bersedia untuk diwawancarai. Setelah beberapa
menit menunggu beliau datang dan langsung bertanya asal saya dari pulau mana
dan memberikan kartu namanya, lalu saya perkenalkan diri saya dan maksud untuk
bertemu. Setelah itu beliau mengenalkan dirinya adalah seorang dokter di
universitas, dan sebelumnya beliau adalah seorang pewayang tradisional di usia
12 tahun dan 6 tahun kemudian beliau berhenti sebagai pewayang untuk memulai
kuliah kedokteran. Beliau menjelaskan bahwa di Prancis juga ada wayang
tradisional dan salah satunya di Amiens, namun bukan dengan bahasa prancis tapi
dengan bahasa tradisional Amiens yaitu bahasa picard. Sama halnya dengan wayang
di Indonesia biasanya kita menggunakan bahasa jawa dalam pewayangan Jawa,
bahasa bali dalam pewayangan Bali. Kecintaannya terhadap wayang tidak berakhir
begitu saja, walaupun sibuk dengan aktivitas kedokterannya beliau tetap menaruh
perhatiannya terhadap wayang dengan cara mengoleksi wayang-wayang di seluruh
dunia selama 40 tahunan lamanya, ada Indonesia, Thailand, Sri Lanka, Cina,
Jepang, India, dan negara-negara Eropa dan Amerika. Beliau mengatakan bahwa di era
70-80’an yang lalu lebih mudah menemukan wayang-wayang Indonesia di Prancis dan
sangat banyak. Wayang Indonesia pertama yang beliau punya adalah wayang dari salah
satu tokoh Korawa. Saya bertanya dari mana beliau mendapatkan semua koleksinya
dia membelinya di Prancis, Belanda, dan Internet. Pasti anda heran kenapa tidak
ada satupun yang dibelinya langsung di Indonesia? Wong beliau aja belum pernah
ke Indonesia.
Saya dan dr. Frédéric Héduin |
Karena fakultas seni di Amiens sedang menyiapkan ijasah dengan
jurusan tentang pewayangan tradisional seluruh dunia maka terlahirlah ide beliau
untuk memperkenalkan salah satu wayang
tradisional yaitu wayang Indonesia melalui pameran ini, disamping itu beliau juga
ingin menunjukan kekagumannya tentang keseimbangan keberagaman budaya dan agama di
Indonesia yang bisa hidup rukun satu sama lain, istilahnya Bhineka Tunggal Ika
berbeda-beda tetapi tetap satu. Itulah yang ingin ditunjukan kepada orang-orang
Prancis yang saat ini masyarakatnya sangat rawan konflik antar umat beragama. Beliau
juga menjelaskan bahwa di pewayangan juga kita biasanya menceritakan tentang
sejarah dan politik, dua orang tokoh politik Indonesia yang beliau kagumi
adalah Soekarno yang bisa menyatukan kebesaran Nusantara menjadi satu kesatuan
yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Gus Dur adalah seorang tokoh yang sangat pluralisme.
Tak lama kemudian Mr. Georges Fauré muncul lagi,
masih dengan ketertarikannya terhadap patung yang berasal dari Batak itu dan
keinginannya yang kuat untuk membeli, namun sang kolektor menolaknya. dr Frédéric Héduin pun bercerita
bahwa di Batak konon katanya orang-orang yang sudah meninggal arwahnya masuk ke
dalam patung-patung, nenek moyang mereka sudah bersemayam didalam patung ini
dan saya sudah terikat batin dengan beliau, gurauan sang dokter.
Beginilah kisah dari sang dokter yang saya sebut sebagai
dokter wayang, yang kenal dan cinta budaya Indonesia melalui wayang-wayang dan
patung-patung tradisional Indonesia.
Nyoman Krisna.
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire