Oleh : Anita Wahid
[Sambutan Anita Wahid pada Acara Memperingati Dua Tahun Wafatnya Gus Dur]
TIDAK terasa sudah dua tahun berlalu sejak Gus Dur berpulang ke rahmat Allah SWT. Waktu berlalu begitu cepat, dan tetap tak juga menjauhkan Gus Dur dari kehidupan kita. Gus Dur tidak hanya menjadi sekedar kenangan dalam album-album yang tertutup, atau pada foto-foto di dinding mati. Gus Dur masih tetap hidup, sebagaimana seorang penyair menyatakan, “Gus Dur hanya pulang, bukan pergi.”
Sikap dan nilai perjuangan Gus Dur justru semakin menggema ketika Indonesia semakin kehilangan kendali atas kehidupan bersamanya sebagai bangsa. Kepentingan sesaat, kepentingan kelompok, kecintaan pada kekuasaan, dan nilai bangsa yang memburam, justru sekarang memberi makna pada apa yang selama ini telah diperjuangkan Gus Dur sampai akhir hayatnya.
Betapa kita merindukan semangat menjadi manusia yang memanusiakan manusia yang demikian nyata ditunjukkan oleh Gus Dur. Bagi beliau, menjadi manusia berarti mendahulukan kepentingan manusia di atas kepentingan duniawi sesaat. Tiga nilai besar, yaitu nilai keadilan, nilai kesetaraan, serta nilai persaudaraan, seharusnya menjadi fondasi bagi kehidupan berbangsa. Dan saat ini kita tahu ketiga nilai tersebut semakin menyempit—digunakan untuk kepentingan sendiri!
Ketika sekarang kita melihat pemimpin-pemimpin palsu berlomba-lomba menunjukkan kemakmurannya di atas kesengsaraan rakyat, kitapun seakan tertampar oleh kesahajaan Gus Dur yang tak dapat diingkari. Ketika sekarang kita melihat kaum intektual berlomba-lomba menunjukkan kerumitan cara pandangnya terhadap masalah-masalah bangsa, kitapun seakan dihujam oleh kesederhanaan pikiran Gus Dur yang jernih tertuju pada pokok persoalan, yaitu pembelaan sejati kepada kemanusiaan, dan utamanya bangsa Indonesia.
Sikap seorang ksatria yang diteladankan Gus Dur sesungguhnya ada dalam diri setiap dari kita. Kita belajar untuk berbela rasa terhadap mereka yang dilemahkan, belajar berani berjuang untuk kebenaran dan kedaulatan kita sebagai manusia. Kita belajar kesabaran dan keikhlasan untuk mengeraskan raga dan melembutkan nurani demi sebuah proses perjuangan yang maha penting bagi bangsa ini.
Gus Dur sering mengungkapkan bahwa guru kehidupannya adalah Mbah Hasyim al-Asy’ari dan Mbah Wahid Hasyim. Dan bahwa Gus Dur berbangga hati melanjutkan perjuangan guru-gurunya tersebut. Itulah Gus Dur yang selalu mengingatkan kita untuk berdiri kokoh, terbuka menyambut perkembangan zaman, tetapi dengan kaki yang menjejak kuat ke dalam bumi tradisi dan kearifan nusantara. Hanya dengan cara inilah kita bisa menjadi manusia Indonesia seutuhnya, bukan warga dunia yang lupa pada bumi di mana ia berpijak dan tak mengenal kawan-kawan hidup di sekitarnya.
Segala hal yang diteladankan Gus Dur ini sejatinya berawal dari kesadaran terdalam bahwa Allah Yang Mahakuasa adalah sumber dari segala sumber dan rahmat kehidupan di jagad raya. Keutuhan prinsip ketauhidan ini lebih dari sekedar diucapkan dan dilafalkan saja, tetapi justru menjelma dalam prilaku dan perjuangan membangun bangsa dan kemanusiaan.
Bersyukurlah kita yang sempat menyaksikan, mencerna, memahami, dan mempelajari Gus Dur dengan mata dan nurani kita. Karena saat ini kitapun harus menjadi saksi atas kehidupan yang jauh dari cita-cita kita bersama sebagai negara-bangsa.
Saat kita melihat nilai-nilai ketuhanan yang semakin dijauhkan dari kemanusiaan, dan akhirnya justru digunakan sebagai alat untuk menindas hak hidup sesama anak bangsa. Nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan, semakin langka dari keseharian kita. Persaudaraan bangsa seakan hanya sebuah impian kosong yang tak ditemukan di sudut-sudut Sampang, Bogor, Cikesik, Mojokerto, Tanjung Balai Asahan, Bekasi, Sukabumi dan Manisulor.
Nilai-nilai kesatrian yang kita sematkan kepada para pengawal negara diselewengkan menjadi kekuatan senjata para aparat, Satpol PP, tentara, polisi, untuk menindas kemanusiaan di Bogor, di Urutsewu, di Bima, di Papua, di Mesuji, di pengunungan Kendeng, hanya demi membela penguasa dan pemilik harta.
Perjuangan kita sungguh panjang, anak-anak kita terus tumbuh, dan akan mewarisi bangsa yang kita siapkan untuk mereka. Kerja keras kita mungkin tak akan kita nikmati sekarang, sebagaimana Gus Dur tak sempat menikmati wujud Indonesia seperti yang diidamkannya. Tetapi demi masa itulah kita sekarang harus menetapkan hati dan usaha. Semua yang kita warisi dari Gus Dur adalah hadiah nilai-nilai luhur yang akan kita wariskan kepada anak-cucu kita dan akan menjadi bekal mereka menghadapi dunia. [Roland Gunawan]
Sumber : www.rumahkitab.com
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire